Selasa, 02 November 2010

cerpen

Kambing Hitam
Wajahnya tampan. Nada suaranya rendah. Warna kulitnya putih. Tinggi tubuhnya ideal, satu meter tujuh puluh lima senti. Rambutnya yang hitam ikal senantiasa tersisir rapi. Setiap berjalan, lelaki kekar itu tampak melangkah dengan pasti. Kapan saja ia berbicara apa saja yang terlontar dari mulutnya itu senantiasa meyakinkan. Dia adalah Ferrari yang menjadi incaran banyak wanita.
“Yang membuatku lumpuh adalah tatapan matanya yang bagaikan magnet itu,” ujar Emma, gadis berusia 22 tahun yang bertugas sebagai sekertaris di kantorku.
“Wanita yang tidak tertarik kepadanya pastilah kadar kewanitaanya di bawah standar,” kata Rukmini, ibu muda berputra dua yang lima tahun menjadi kepala bagian perencanaan.
“rasanya saya tiga puluh tahun lebih muda kalau berada didekatnya dan mendengarnya berbicara dengan suara yang lembut itu,” tutur ibu Sukamsi , pensiunan yang bekerja sambilan sebagai tenaga pengajar di bagian pendidikan dan latihan.
“Ah, kalaulah orang seperti itu yang pertama kali memelukku dan membawaku ke ranjang pastilah Mas Handoko tidak akan menjadi suamiku,” Ucap Nasrina, si genit yang shalatnya tetap panuh lima kali sehari.
“Sialan, istriku diam-diam ternyata tertarik kepada dokter muda itu,” gerutu Ruben, kepala bagian yang senang mendengar musik klasik.
Komentar tentang Ferrari bisa menjadi sebuah buku tebal, setebal buku penunjuk telepon, kalau saja ada yang mau manghimpunnya.
Aku kira lelaki lulusan Massaachusetts Institute Of Technology (MIT) itu juga sadar betul, ia dipuja banyak orang, khususnya wanita. Namun..., nah, inilah yang mengagumkanku, ia kelihatan tetap tenang. Senantiasa rendah hati dan siap menolong siapa saja, terasuk Upik yang malas mandi dan tubuhnya selalu menyebabkan aroma yang membuat bulu hidung tegak itu.
Karena sikapnya yang senang melayani siapa saja itu, wanita-wanita di kantorku memasang taktik sendiri agar selalu dapat berdekatan dengan sarjana komunikasi massa itu. Celakanya yang menang tampaknya Upik. Bukan wanita setengah baya dan berambut kribo ini yang mendatangi Ferrari, tetapi Ph.D muda itulah yang sering menghampirinya untuk bertanya sesuatu.
Akibatnya bisa dibayangkan. Emma membentuk kelompok barisan sakit hati. Dalam daftar yang tercatat di buku harianku tersebutlah nama-nama Emma, Rukmini, Nasrina, Tinneke, Betty, Rostina, Zainabun, Arfah, Suti, Kusumawardani, Ayu, dan Tina. Dalam catatanku tersebut pula sejumlah nama yang tampaknya akan bergabung dengan barisan sakit hati. Tentu saja semua wanita.
Si wajah tampan tampaknya tidak sadar apa yang telah terjadi. Ia tetap saja sering bercanda dan makan siang dengan Upik. Upik sendiri tetap tidak berubah. Pakaiannya tetap sembrono dan ia masih terus malas mandi. Sementara itu, gadis-gadis, ibu-ibu muda, ibu-ibu setengah baya, dan seorang janda kelihatan mamperkuat barisan. Barisan sakit hati itu ternyata telah menjadi kekuatan yang tidak dapat disepelekan.
Upik tiba-tiba merasa dirinya dikepung oleh gerombolan musuh yang tampaknya akan melumat dirinya menjadi debu. Celakanya, ia tidak merasa bersalah, ia tidak merasa memusuhi mereka. Ia tidak melakukan kecurangan. Ada apa ? Apa yang tidak sehat di kantor ini ? pikirnya.
Dalam kebingungan seperti itu, ia tidak melakukan intropeksi. Mungkin karena anjuran mereka agar aku mandi dua kali sehari, tidak kuturuti. Barang kali pakaiaku yang sering acak-acakandan berbau lembab karena tidak kering membuat mereka manjauhiku. Mungkin karena mulutku yang selalu berdecap kala makan, membuat mereka menganggap tidak layak untuk berteman denganku. Bisa saja karena rambut kriboku jarang bersentuhan dengan sampo. Atau sebagai gadis kadaluarsa, aku dianggap terlalu tua untuk dijadikan teman.
Hasil intropeksi itu membuahkan hasil secara drastis. Upik tiba-tiba berubah. Tubuhnya kini mengantarkan aroma segar ke mana-mana ke berbagai penjuru kantor karena parfum yang digunakan cukup mahal. Sabun yang menjilat tubuhnya dua kali sehari juga bukan sabun sembarangan. Sampo pun dua hari sekali singgah di rambutnya yang menjadi lurus setelah di permak di salon.
Pakaiannya tersetrika rapi. Bebrapa di antaranya tampaknya baru dan dibuat tampaknya baru dan dibuat berdasarkan pola yang diambil dari majalah wanita. Pokoknya, telah lahir Upik yang baru.
“Tua bangka tidak tahu diri,” komentar Zainabun yang biasanya pendiam.
“Dengan rumput muda itu, dia kira kerut-kerut diwajahnya bisa berkurang” ujar Ayu sengit.
“mbok, cari kek yang masih ketat, jangan yang sudah longgar begitu,” kata Tina kepada Ferrari dengan tenang menyembunyikan cemburunya.
“Walaupun dia ngakunya masih gadis dan gua ini resminya janda, gua pasti bisa menaklukan si bekas kribo itu,” Rostina nyeletuk mengomentari perubahan Upik.
Karena tujuan cerita ini memang bukan mengumpulkan komentar untuk membuktikan betapa hebat reaksi di kantor kami atas perubahan Upik, cukuplah empat orang itu saja yang di kutip. Yang jelas, kantor kami geger karena dua makhluk berlainan jenis dianggap terlibat ‘affair’ yang tidak wajar.
Bagaimana Ferrari ? Pemuda yang akan memasuki usia 27 tahun itu tampaknya berhidung tumpul dan tidak mencium apa yang terjadi. Ia tetap manis dan terlalu sopan, penuh tata krama. Ahli komunikasi massa ini tidak pernah terpancing untuk terlibat dalam omongan yang menyrempet-nyrempet bahaya, khususnya tentang hubungan intim laki-laki dan wanita. Upik pun senantiasa berada didekatnya.
Sebagai pengamat, aku tentu tidak dapat meramalkan situasi bagaimana yang akan timbul di kantor kami. Ternyata aku tidak cukup puas analistis dalam mengamati situasi. Erika mahasiswa ABA (Akademi Bahasa Asing) yang putus kuliah, menanam keyakinan seperti itu dalam diriku. Barangkali dialah satu –satunya wanita di kantor kami yang tidak terbuai atau mabuk tidak tentu sebab karena kehadiran Ferrari.
Gadis manis berkulit hitam ini tetap bekerja dengan penuh dedikasi dan berdisplin. Ia sama sekali tidak berniat bergabung dengan barisan sakit hati atau calon-calon anggota barisan itu.
Sebagai manusia, khususnya sebagai wanita, nalurinya tajam. Ia tahu, Ferrari bukan saja memesona
Banyak orang di kantor kami, tetapi juga diluar. Bahkan, orang-orang yang tidak tidak mengenalnya secara fisik.
Ferrari senang menulis dan tulisan-tulisan tersebar di berbagai media. Setiap kali melontarkan sesuatu masalah, ia senantiasa memaparkannya dengan jernih, jelas, dan sistematis. Bahkan, ia sering menawarkan jalan keluar. Erika yang senang membaca banyak sekali mengetahui buah pikiran Ferrari. Ia kagum pada pemuda itu. Cuma itu barangkali Erika termasuk wanita yang kadar kewanitaannya kurang, kalau meminjam istilah Rukmini.
Memang aneh, Ferrari dan Erika yang diterima di kantor kami pada waktu yang bersamaan, tampak tidak begitu akrab. Keduanya seakan saling tidak memerdulikan. Wanita-wanita di kantor kami juga tidak begitu acuh dengan Erika yang dianggap masih anak kemarin. Semua ini suatu siang aku mengajaknya makan.
“Ada satu hal yang saya tahu, tetapi Anda tidak tahu,” ujar Erika kepadakku suatu pagi.
“Tentang Ferrari ?”
“Ya, dan saya tidak akan mengatakannya kepada Anda. Biar Anda sendiri yang menentukannya.”
Suasana permusuhan antara Upik dan semua teman wanita dikantor kami kecuali dengan Erika tidak mengendur setelah Upik tampil dengan wajah baru. Wajar kalau kemudian ia bingung dan hampir frustasi. Ketika keadaan tidak bersahabat itu semakin tajam, Upik tidak tahan lagi. Ia menangis dan mengadu kepada kepala bagian.
Ruben mengangguk dan berupaya menenangkan Upik.
“Biasa, lelaki tampan seperti itu memang selalu jadi rebutan. Mereka, Cuma iri karena Upiklah yang paling dekat dengan lelaki itu,”
Upik terperanjat, luar biasa. Ketika kedua orang tuanya meninggal serentak dalam suatu kecelakaan, ia terkejut, tetapi, tidak sehebat ketika mendengar kata-kata Ruben itu. “Masya Allah, kiranya itu yang menjadi sebab. Betapa dungunya saya selama ini,” kata Upik sambil meninggalkan Ruben
Keesokan harinya, Upik tampak demostratif sekali. Ia menggandeng tangan Ferrari masuk kantor. Si depan semua orang, ia membetulkan letak kerah kemeja Ferrari yang terlipat. Berbagai tingkah Upik yang mencolok itu membuat teman-teman wanita di kantor mancibir, mendehem bahkan ada yang memaki.
Ketegangan itu mencapai puncaknya ketika Arfah melemparkan gelas berisi kopi ke muka Upik. Arfah merasa dipermalukan di depan Ferrari ketika Upik mengembalikan bekas pekerjaannya yang dianggapnya belum sempurna ke meja Arfah di depan Ferrari. Arfah memaki Upik dengan kata-kata kasar dan jorok.
Di luar dugaan semua orang menyaksikan peristiwa itu, Upik menanggapi peristiwa itu, Upik menanggapi makian itu dengan senyumnya yang paling manis. Ketika Arfah tidak lagi melemparkan makian, Upik menghampiri sarjana komunikasi berwajah tampan itu dan memegang lengannya.
“Fer, barangkali sekaranglah saatnya rahasia itu kau buka. Biar semua orang tahu. Biar semua orang menyadari bahwa aku bukan perempuan gatal seperti yang dituduh.”
Ferrari lalu tampil sebagai juru selamat dan semua orang melongo, menggeleng, dan berdecap tidak percaya. Mereka meminta Ferrari mengulangi yang telah diucapkan itu. Ferrari diam. Ketika itulah, Erika berdiri dan tampil ke depan.
“Mereka bersaudara. Saudara kandung. Mereka hanya dua bersaudara. Ibu Upiklah yang mmbiayai kuliah Ferrari selama ini hingga dia dapat mencapai gelar Ph.D itu. Ibu Upik mengorbankan masa mudanya hanya untuk kepentingan adiknya yang seorang itu. Ia bekerja keras menggantikan fungsi kedua orang tuanya untuk menyelesaikan pendidikan adiknya yang sangat disayanginya itu, selama itu pula ibu Upik menjauhi setiap lelaki dan bertahan bagai karang menghadapi segala godaan. Ferrari tahu itu. Ia kini ingin berbuat apa saja untuk membahagiakan kakanya. Ia lebih melihat kakaknya itu sebagai ibu, bukan sebagai kakak.”
Semua menatap Ferrari dan Upik. Mereka berdua mengangguk.
“Erika mengetahui semua ii karena abangnyalah yang berkali-kali mengajakku menikah dan senantiasa kutolak. Kalau saja ia sabar menunggu hingga Ferrari selesai, ia tidak perlu menikah dua tahun lalu dengan istrinya yang sekarang.” Ujar Upik.
Beberapa hari setelah itu suasana kantor tampak normal kembali seperti dulu sebelum pecah perang dingin. Upik telah diterima kembali di tengah rekan-rekan wanita di kantor kami. Akan tetapi, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Perang dingin kini muncul di antara orang-orang yang dulu memusuhi Upik.
Barisan sakit hati ini tadinya besar dan kuat, kini terpecah menjadi sempalan-sempalan kecil dan saling memusuhi. Penyebabnya tetap saja yang dulu. Ferrari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar