Pengertian
Monopoli
murni adalah bentuk organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang
menjual komoditi yang tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu
sekaligus merupakan industri dan menghadapi kurva permintaan industri yang
memiliki kemiringan negatif untuk komoditi itu.
“Antitrust”
untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah
“dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti
istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu
“kekuatan pasar”.
Dalam
praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan
pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
UU
No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak
sehat mengatur kegiatan bisnis yang baik dalam arti tidak merugikan pelaku
usaha lain. Monopoli tidak dilarang dalam ekonomi pasar, sejauh dapat mematuhi
“rambu-rambu” atau aturan hukum persaingan yang sehat. Globalisasi ekonomi
menyebabkan setiap negara di dunia harus “rela” membuka pasar domestik dari
masuknya produk barang/jasa negara asing dalam perdagangan dan pasar bebas.
Keadaan ini dapat mengancam ekonomi nasional dan pelanggaran usaha, apabila
para pelaku usaha melakukan perbuatan tidak terpuji.
Pengaturan
hukum persaingan usaha atau bisnis melalui UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LN 1999 No. 33, TLN No.
3817) diberlakukan secara efektif pada tanggal 5 Maret 2000 merubah kegiatan
bisnis dari praktik monopoli yang terselubung, diam-diam dan terbuka masa orde
baru menuju praktik bisnis yang sehat. Pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1999 selama
ini perlu dilakukan kaji ulang, guna mengetahui implikasi penerapan kompetisi
yang “sehat” dan wajar di antara pengusaha atau pelaku usaha dalam sistem
ekonomi (economic system) terhadap demokrasi ekonomi yang diamanatkan Pasal 33
UUD 1945.
UU
No. 5 Tahun 1999 merupakan salah satu perangkat hukum untuk menunjang kegiatan
bisnis yang sehat dalam upaya menghadapi sistem ekonomi pasar bebas dengan
bergulirnya era globalisasi dunia dan demokrasi ekonomi yang diberlakukan di
tanah air. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur tentang larangan praktik
monopoli dan persaingan usaha yang dapat merugikan kegiatan ekonomi orang lain
bahkan bagi bangsa dan negara ini dalam globalisasi ekonomi. Keberadaan
undang-undang anti monopoli ini menjadi tolok ukur sejauh mana pemerintah mampu
mengatur kegiatan bisnis yang sehat dan pengusaha mampu bersaing secara wajar
dengan para pesaingnya.
Semua
ini bertujuan untuk mendorong upaya efisiensi, investasi dan kemampuan adaptasi
ekonomi bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan potensi ekonomi rakyat,
memperluas peluang usaha di dalam negeri (domestik) dan kemampuan bersaing
dengan produk negara asing memasuki pasar tanah air yang terbuka dalam rangka
perdagangan bebas (free trade).
Semua
ini didasarkan pada pertimbangan setelah Indonesia menjadi anggota organisasi
perdagangan dunia (WTO) dengan diratifikasi UU No. 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization pada tanggal 2
Nopember 1994 (LN Tahun 1994 No.95, TLN No. 3564).
Pada
waktu bersamaan diharapkan pengusaha nasional mampu untuk bersaing dengan
“sehat“ di pasar-pasar regional dan internasional pada iklim globalisasi
ekonomi sebagai tata ekonomi dunia baru. Pengaturan persaingan bisnis juga
bertujuan untuk menjamin usaha mikro dan usaha kecil mempunyai kesempatan yang
sama dengan usaha menengah dan usaha besar atau konglomerasi dalam perkembangan
ekonomi bangsa.
Pengaturan
ini melindungi konsumen dengan harga yang bersaing dan produk alternatif dengan
mutu tinggi mengingat pengaturan tersebut mencakup pada bidang manufaktur,
produksi, transportasi, penawaran, penyimpanan barang dan pemberian jasa-jasa.
Persaingan
usaha dapat terjadi dalam negosiasi perdagangan, aturan liberalisasi pasar dan
inisiatif penanaman modal asing yang berpindah-pindah dikaitkan kebijakan
pemerintah di dalam negeri untuk memenangkan persaingan bagi pengusaha nasional
di pasar regional dan internasional.
Persaingan
yang sehat di pasar dalam negeri merupakan bagian penting “public policy” pada
pembangunan ekonomi yang dinyatakan TAP MPR RI No. IV/MPR/1999 tentang Garis-garis
Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 dan TAP MPR RI No. II/MPR/2002 tentang
Rekomendasi Kebijakan untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional yang
menegaskan “mengoptimalkan peranan pemerintah dalam mengoreksi
ketidaksempurnaan pasar dengan menghilangkan seluruh hambatan mengganggu
mekanisme pasar melalui regulasi, layanan publik, subsidi dan insentif yang
dilakukan secara transparan dan diatur dengan undang-undang”.
Semua
ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas pengusaha nasional yang andal
dan kuat bersaing di pasar regional dan internasional. Selain itu, kebijakan
ekonomi pemerintah mampu meyakinkan para investor asing dan ekportir luar
negeri mendapat kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar dalam negeri
dengan pengusaha lokal/nasional dalam mekanisme pasar yang sehat. Tujuan
kebijakan persaingan usaha adalah menumbuhkan dan melindungi para pengusaha
melakukan “persaingan sehat” yang dapat dilaksanakan dalam kegiatan ekonomi.
Persaingan antar perusahaan adalah pembeli dan penjual memiliki pilihan yang
luas kepada siapa untuk berhubungan dagang. Tujuan lain mengurangi atau
melarang terjadi konsentrasi kekuatan ekonomi pada pelaku ekonomi tertentu.
Ekonomi pasar yang bersaing tidak terjadi dengan sendirinya.
Kompetisi
yang sehat dalam kegiatan ekonomi negara harus diikuti kebijakan liberalisasi,
deregulasi dan privatisasi badan usaha yang tidak sehat atau failit (bangkrut).
Upaya ini dilakukan untuk mengantisipasi pasar bebas agar kebijakan publik di
bidang ekonomi yang merugikan kegiatan bisnis dapat dihilangkan. Akibat
persaingan usaha, pengusaha dalam kegiatan bisnis melakukan praktek monopoli
dan persaingan usaha tidak sehat bahkan melampaui batas-batas negara dengan
melanggar perdagangan dunia. Pada era globalisasi ekonomi, kesepakatan bisnis
mengubah bentuk perdagangan dunia dalam waktu singkat menjadi perkampungan
global (global village). Kesepakatan ini merugikan kepentingan negara-negara
berkembang dan negara-negara miskin yang tidak siap menghadapi perubahan
ekonomi dunia pasca dibentuknya WTO.
Globalisasi
adalah upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi persaingan usaha dalam
dua hal. Pertama, perdagangan antar negara menumbuhkan investasi dan produksi
melewati batas-batas negara. Kegiatan yang berimplikasi persaingan, seperti
praktik cross border pricing, hambatan masuk (barrier entry) dan
pengambilalihan usaha dalam ekonomi baru bertambah. Kedua, pemerintah
negara-negara berkembang khawatir terhadap kemampuan pengusaha nasional
sehingga berusaha menciptakan lingkungan usaha yang sehat dan memungkinkan
produk domestik oleh pengusaha mampu bersaing dengan manufaktur barang impor di
dalam negeri dan sebagai eksportir masuk ke pasar luar negeri dalam rangka
perdagangan dan pasar bebas.
Kebijakan
persaingan usaha bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu dalam kegiatan
bisnis. Akan tetapi kebijakan ini berlawanan dengan kepentingan dunia usaha
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, karena kebijakan persaingan usaha
yaitu menambah kesejahteraan atau kepuasan konsumen dengan menyediakan pilihan
produk baru dan menciptakan harga bersaing di antara produk tersedia untuk
kebutuhan barang konsumsi sehari-hari. Selain itu untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi domestik dan memperbaiki alokasi efisiensi dalam kaitan
sumber alam yang terbatas, memperbaiki kemampuan domestik untuk berpartisipasi
pada pasar global, dan mendorong kesempatan sama ‘dunia usaha’ melalui kegiatan
ekonomi yang sehat.
Asas
dan Tujuan Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Tujuan
yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai
berikut
- Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
- Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
- Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
- Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Kegiatan
yang Dilarang
Kegiatan
yang dilarang berposisi dominan menurut pasal 33 ayat 2.
Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang
dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di
pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada
pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu.
Menurut
pasal 33 ayat 2 ” Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi
seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh
dikuasai swasta sepenuhnya
Perjanjian
yang Dilarang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
- Oligopoli: keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
- Penetapan harga: dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain:
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa
yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang
sama
·
Perjanjian
yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari
harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
·
Perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau
jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya
dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
- Pembagian wilayah: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
- Pemboikotan: Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
- Kartel: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
- Trust: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
- Oligopsoni: Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
- Integrasi vertical: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
- Perjanjian tertutup: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu
- Perjanjian dengan pihak luar negeri: Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Hal-Hal
yang Dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
Di dalam
Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang
dikecualikan,yaitu
- Pasal 50
- perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
- perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
- perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
- perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
- perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
- perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
- pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
- kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
- Pasal 51
Monopoli
dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan
diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang
dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia
yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang
larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU
menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut
- Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
- Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan/atau pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
- Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam
pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian per se illegal, yaitu sekedar
membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain
mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat
Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat
- Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
- Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
- Efisiensi alokasi sumber daya alam
- Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
- Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
- Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
- Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
- Menciptakan inovasi dalam perusahaan
Sanksi
Pasal
36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian,
penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU
juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif
diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan
kewenangan menjatuhkan sanksi administratif,
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
- Pasal 48
- Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
- Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
- Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
- Pasal 49
Dengan
menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
- pencabutan izin usaha; atau
- larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
- penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan
ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak
menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar