1. Dua per tiga wilayah Indonesia merupakan wilayah laut yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah baik dari sumberdaya hayati yang mampu diperbaharui, maupun sumberdaya nonhayati, energi kelautan dan jasa-jasa kelautan yang sampai sekarang belum secara optimal dimanfaatkan.
2. Menyadari sepenuhnya akan keberadaan sumberdaya alam tersebut, melalui kesadaran politik, bangsa Indonesia telah mengimplementasikan keinginan untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut dengan berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 1999 di mana bidang perikanan diharapkan menjadi tulang punggung penggerak pembangunan kelautan Indonesia dalam upaya menjadikan laut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia
3. Bidang perikanan sebagai aktivitas pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang meliputi usaha penangkapan, pemeliharaan (budidaya) dan pengolahan hasil sumberdaya hayati perairan, sampai saat ini masih mengandalkan sepenuhnya terhadap tersedianya bahan baku dari alam dalam kegiatan pemanfaatannya melalui kegiatan penangkapan ikan, sementara bidang budidaya perairan (mariculture) belum menampakkan kekuatannya dalam memanfaatkan teknologi khususnya dalam bidang pemuliaan, breeding, reproduksi, pakan dan penyakit
Melalui pendekatan Bioteknologi Molekuler diharapkan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan yang tersedia akan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Memanfaatkan laut sebagai sumber aktivitas ekonomi bukanlah suatu hal yang tidak memungkinkan. Laut memiliki nilai kompetisi yang sangat tinggi, khususnya dalam pemanfaatannya karena paling tidak, memanfaatkan laut tidak berbenturan dengan kepentingan yang paling mendasar dari kebutuhan manusia yaitu pemukiman. Dengan demikian sumberdaya yang ada yang meliputi sumberdaya hayati yang dapat diperbaharui (produk perikanan), nonhayati (minyak bumi dan gas, mineral), energi kelautan (energi gelombang pasang surut, angin, ocean thermal energy conversion (OTEC)) serta jasa-jasa kelautan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Indonesia yang memiliki panjang pantai 81.000 km; 17.508 pulau; 5,8 juta km2 wilayah laut/perairan yang dihuni oleh kekayaan biota perairan berupa lebih dari 2.000 jenis ikan; 850 jenis sponge, 910 jenis koral dan 4.500 jenis ikan karang atau 20% jenis ikan dunia (Subiyanto dan Djohani, 2000) merupakan wilayah pusat kekayaan biodiversitas dunia. Namun demikian, kondisi riel dari perjalanan sosial-budaya bangsa Indonesia yang selama ini terlalu mengarah ke wilayah darat, membawa dampak terhadap perilaku bangsa ini yang cenderung memandang pesimis dalam memandang laut sebagai sumber kekuatan pertumbuhan ekonomi baru Indonesia.
Menyusutnya ketersediaan lahan untuk aktivitas produksi karena semakin meningkatnya jumlah penduduk dan ketersediaan pangan merupakan permasalahan yang harus dipecahkan. Kehadiran bioteknologi merupakan suatu sumber kekuatan baru dalam menyelesaikan masalah tersebut apalagi dengan semakin berkembangnya Bio-molekuler sebagai salah satu cabang dari ilmu biologi yang terus mendasari dan memacu temuan-temuan berharga dalam menyelesaikan permasalahan khususnya di lingkup bidang hayati.
Pekerjaan bioteknologi memang lebih banyak melibatkan aktivitas kimiawi dan secara tradisional telah banyak dihasilkan berbagai bahan komersial karena kegiatan atau jasa aktivitas mikroorganisme. Karena itu berkembangnya bioteknologi pertama kali lahir telah banyak memberikan inspirasi dan kontribusi terhadap perkembangan mikrobiologi terapan khususnya pada bidang fermentasi.
Mendengar kata bioteknologi maka kita akan mengenang Karl Ereky, seorang Hungaria pada tahun 1917 yang menggambarkan suatu proses yang ia kembangkan dalam mengembangkan usaha peternakannya dengan menggunakan limbah gula melalui proses fermentasi sebagai bahan pakan. Dari kegiatan ini ia berhasil meningkatkan produktivitas ternaknya, sehingga Bioteknologi didefinisikan sebagai semua langkah kegiatan yang menghasilkan produk dari bahan dasar dengan bantuan organisme hidup. Jauh sebelumnya, kegiatan ini telah dilakukan secara tradisional khususnya pada produk-produk fermentasi yang akrab dengan lidah kita seperti tempe, keju, kecap, terasi, peda, dll.
Sekitar 45 tahun perjalanan terminologi bioteknologi mengalami perdebatan, yang diakhiri pada tahun 1961 ketika seorang ahli mikrobiologi Swedia, Carl Goren Heden merekomendasi perubahan nama jurnal “Journal of Microbiological and Biochemical Engineering and Technology”, menjadi “Journal of Biotechnology and Bio-engineering”. Mulai saat itu terminologi Bioteknologi menjadi jelas sebagai suatu kajian dari kegiatan industri yang menghasilkan barang dan jasa dengan menggunakan organisme, sistem dan proses secara biologis.
Perkembangan pesat bidang hayati khususnya pada bidang biologi-molekuler telah mempercepat laju perkembangan bioteknologi. Kajian bioteknologi-molekuler telah memanfaatkan wilayah kajian ekspresi gen, meliputi DNA, RNA dan protein menjadi media kajian intensif untuk menjawab permasalahan-permasalahan di lingkup bidang hayati. Teknologi rekombinan DNA yang disebut juga sebagai kloning gen atau kloning molekuler merupakan teknologi yang sangat berperan penting dalam mentransfer informasi genetik (DNA) dari satu organisme ke organisme lainnya dan merupakan landasan kuat bagi pengembangan bioteknologi molekuler, khususnya di bidang rekayasa genetika.
DNA sebagai blue print kehidupan pertama kali dijelaskan mekanisme melalui temuan yang dikenal sebagai Griffith effect pada tahun 1928, yang menjelaskan tentang mekanisme kemampuan transfer suatu bahan genetik yang dapat menyebabkan penyakit dari suatu strain bakteri patogen (penyebab penyakit) Streptococcus pneumoniae ke bakteri S. pneumoniae strain lainnya yang tidak bersifat patogen. Kedua strain/jenis S pneumoniae ini dapat dikenali perbedaanya karena keduanya secara phenotype dengan jelas memunculkan karakter sifat koloni yang berbeda ketika ditumbuhkan dalam media agar (nutrient agar), di mana bakteri yang patogen akan tumbuh dengan koloni yang berkilau serta permukaan koloninya halus, sedangkan yang tidak patogen menampilkan permukaan koloni yang kasar. Perbedaan ini disebabkan karena ada dan tidaknya kemampuan bakteri tersebut membentuk kapsul pelindung sel dari bahan polisakarida yang sangat berperan dalam melindungi sel dari sistem imun organisme yang terinfeksi bakteri ini. Griffith memberikan perhatian khusus pada kedua jenis bakteri ini dan mempelajarinya dengan menyuntikkan sel S. pneumoniae patogen yang telah dibunuh dengan cara pemanasaan ke tubuh tikus, ternyata tikus tetap hidup, dan tidak ditemukan adanya sel-sel bakteri S. pneumoniae dalam darah tikus. Begitu juga tentunya ketika tikus disuntik dengan S. pneumoniae yang tidak patogen, tikus tetap hidup. Namun, hal yang sangat mengejutkan dalam penelitian ini terjadi ketika sel-sel bakteri patogen S. pneumoniae yang telah mati karena dipanaskan dicampur dengan S. pneumoniae hidup yang tidak patogen, disuntikkan dalam tubuh tikus, ternyata tikus mengalami kematian. Ketika dianalisa darahnya, ternyata ditemukan adanya S. pneumoniae yang bersifat patogen hidup di dalam tubuh tikus.
Kejadian ini menjadi landasan yang sangat penting dalam bidang genetika molekuler yang dikenal sebagai transformasi genetik sebagai landasan bagi pengembangan bioteknologi molekuler, walaupun peristiwa di atas belum mampu mengungkap siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam memberikan informasi genetik dari perubahan S. pneumoniae yang tidak bersifat patogen menjadi bersifat patogen. Penelitian yang sederhana ini menjadi suatu fenomena yang sangat menarik.
Limabelas tahun kemudian dari kejadian di atas, tepatnya tahun 1944, tiga orang ahli, Avery, MacLeod, dan MacCarty menjelaskan fenomena di atas melalui penelitian dengan memberikan bahan-bahan perusak dari bahan yang diduga bertanggung jawab terhadap transfer informasi genetik ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan memecah sel-sel bakteri patogen S. pneumoniae dan didapat ekstrak DNA, ternyata ketika dicampur dalam kultur S. pneumoniae yang tidak bersifat patogen dan di dalamnya ditambahkan enzim perusak protein (proteinase) dan RNA (RNase), dihasilkan S. pneumoniae yang bersifat patogen, sedangkan pada kultur yang ditambahkan DNase sebagai enzim perusak DNA, ternyata S. pneumoniea yang dihasilkan tetap bersifat non-patogen (tidak menimbulkan penyakit). Dari hasil penelitian ini memperkuat bahwa material yang bertanggung jawab dalam mentransfer informasi genetik dari sifat patogen terbukti adalah DNA. Dengan demikian, maka sejak saat itu diakui bahwa DNA adalah material genetik yang mengontrol dan bertanggung jawab terhadap sifat-sifat genetik dari suatu organisme.
Dua peristiwa penelitian sederhana ini selalu menjadi pembuka dalam perkuliahan saya ketika memperkenalkan Bio-molekuler terhadap mahasiswa S-1, S-2 dan S-3, dengan harapan timbul suatu pemahaman bahwa dari suatu penelitian yang sederhana ternyata mampu mengungkap bahkan memberi dasar yang sangat berarti bagi perkembangan suatu ilmu pengetahuan khususnya perkembangan bioteknologi molekuler.
Di bidang perikanan dan kelautan, peristiwa hadirnya bakteri Vibriosp., yang diduga sebagai salah satu jenis bakteri yang bertanggung jawab dalam peristiwa hancurnya budidaya udang yang sebelumnya lewat kesuksesannya hasil budidaya udang mampu menyumbangkan devisa yang cukup tinggi. Bahkan hasil budidaya udang di dekade tahun 1980-an dan awal 1990-an mampu bertengger sebagai lima besar sumber devisa di luar Migas. Karena prospeknya, ribuan hektar hutan bakau (mangrove) dengan tanpa mengenal batas sebagai daerah sabuk hijau pantai yang sangat penting untuk pelindung pantai, dikonversi menjadi tambak-tambak intensif. Pemanfaatan yang tidak mengenal perencanaan dan kondisi lingkungan serta daya dukung lahan, kini telah menuai hasilnya berupa bencana dengan ambruknya industri udang intensif. Peristiwa ini hendaknya menjadi pelajaran bagi kita semua, khususnya dalam era otonomi daerah saat ini untuk tetap mengelola sumberdaya alam secara berhati-hati dan bertanggung jawab khususnya dalam konteks lingkungan.
Vibriosp., diidentifikasi dengan berbagai jenis, mulai dari yang bercahaya namun tidak patogen, yang bercahaya dan patogen, yang tidak bercahaya tetapi patogen dan lainnya. Karakteristik ini menimbulkan pertanyaan bagi kemungkinan organisme ini mengalami suatu proses transformasi genetik, sehingga menimbulkan variasi yang sangat tinggi, mengingat media air merupakan media yang sangat baik dalam penyebaran jenis bakteri ini. Kompleksitas penyebab hancurnya budidaya udang ini bukan hanya karena hadirnya bakteri-bakteri patogen dan virus yang dipacu karena menurunnya kualitas air sebagai akibat dari kelimpahan bahan organik yang masuk dalam sistem budidaya intensif di tambak, tetapi lebih jauh yang perlu dievaluasi adalah mutu genetik dari udang yang digunakan sebagai induk untuk menghasilkan benih yang tidak terseleksi secara baik.
Untuk menjawab hal tersebut, pendekatan bioteknologi molekuler melalui kajian kajian biodiversitas genetik dengan menggunakan metode-metode bio-molekuler seperti teknologi isozime, teknologi sidik jari DNA untuk pemetaan gen seperti Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP) (Goodier and Davidson, 1993), Random Amplified Polymorfic DNA (RAPD) (Sukoso dkk, 2001) yang melibatkan teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kloning akan mampu memetakan kualitas keragaman genetik suatu organisme sehingga mampu dijadikan sebagai landasan breeding untuk menghasilkan benih yang unggul.
Melalui peta keragaman genetik tersebut maka breeding yang dijalankan akan dapat dilakukan secara rasional berdasarkan peta genom suatu individu sehingga tidak hanya memanfaatkan sumber induk dari satu lokasi saja, tetapi dapat disilangkan dari kantong induk lainnya berdasarkan informasi tingkat keragaman genetik yang dimiliki oleh induk di wilayah tersebut. Melalui kegiatan yang terencana semacam ini, maka tidak menutup kemungkinan suatu daerah akan mampu memproduksi benih-benih unggul sebagai sumber pendapatan yang kontinyu. Selain dari aspek tersebut kemungkinan upaya restocking terhadap sumberdaya hayati yang perlu diperbaiki dapat dilakukan dengan cepat. Penyediaan benih memang merupakan tulang punggung bagi pengembangan industri mariculture.
Kecenderungan ke depan terhadap pengembangan budidaya perairan, khususnya mariculture tidaklah terlepas dari semakin menurunnya produksi hasil penangkapan sebagai akibat adanya overfishing. Memang, secara tradsional kebutuhan penyediaan hasil perikanan berupa ikan, udang, kekerangan, kelompok algae dan produk perikanan baik dari laut maupun tawar tergantung pada sumberdaya yang telah tersedia di alam. Namun pemanfaatan tersebut telah melampau batas maksimal sediaan di alam di mana di tahun 1992 produk hasil tangkapan di seluruh dunia telah mencapai 98,1 juta ton (Chen, 2000), sedangkan potensi perikanan tangkap di laut Indonesia diperkirakan sebesar 5,65 juta ton (FAO, 1997).
Kecenderungan tingkat konsumsi ikan dunia terus meningkat, dipicu dengan adanya kesadaran masyarakat yang memandang ikan sebagai produk yang sehat dan aman. Kecenderungan tersebut dilaporkan oleh The Food and Agriculture Organization (FAO, PBB), bahwa kebutuhan dunia terhadap konsumsi ikan meningkat menjadi 120 juta ton pada tahun 2.000, yang diikuti dengan kecenderungan menurunnya hasil penangkapan ikan menjadi 85 juta ton akibat adanya overfishing yang menyebabkan menurunnya volume beberapa populasi ikan dan adanya isu-isu lingkungan yang semakin kuat terhadap hasil-hasil penangkapan. Untuk menjawab kebutuhan tersebut maka aktivitas budidaya mengalami kenaikan dari 13,9 juta ton pada tahun 1994 menjadi sekitar 35 juta ton pada tahun 2.000. Kecenderungan terhadap kenaikan hasil produksi dari budidaya ini terus mengalami kenaikan menjadi sekitar 52 juta ton pada tahun 2010 dan 77 juta ton pada tahun 2025 (Chen, 2000). Untuk menjawab kecenderungan tersebut maka Departemen Kelautan dan Perikanan telah menetapkan programnya melalui upaya-upaya mengendalikan atau mengatur penangkapan ikan, mengembangkan budidaya, dan diversifikasi serta mutu produk.
Perhatian internasional terhadap pengelolaan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan sudah dimulai sejak dekade tahun 1980-an di mana negara-negara yang sebelumnya hanya memanfaatkan teknologi penangkapan kini telah mengubah kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan melalui kegiatan budidaya perairan berdasarkan pada pendekatan bioteknologi melalui upaya-upaya seperti pemetaan gen dengan pendekatannya melalui kajian bioteknologi molekuler (Godier and Davidson, 1993). Kegiatan pemetaan dapat dilakukan dengan memfokuskan pada perbedaan sidik jari dari variasi gen yang ada pada mini dan microsatelite VNTR (variable number of tandem repeat sequence) dari suatu wilayah untai DNA individu untuk dibandingkan dengan individu lain (Wright, 1993).
Pemetaan genetik hingga ke tingkat molekuler terhadap sumberdaya perikanan dan kelautan belum banyak dilakukan di Indonesia (Sukoso dkk., 2001). Padahal melalui kajian seperti ini sumberdaya keragaman genetik dapat diidentifikasi untuk kegiatan yang lebih berguna khususnya pada bidang genetika, guna membangun landasan kuat bagi upaya pemuliaan, breeding dan reproduksi dalam mengembangkan budidaya perairan. Pemetaan gen dapat membantu dalam pelaksanaan studi-studi genetika kuantitatif untuk kegunaan budidaya perairan. Melalui sidik jari DNA yang hanya menggunakan beberapa tetes darah saja, ikan dapat diidentifikasi perbedaannya, sehingga persilangan dan keturunan dari persilangan genetik yang berbeda dapat diketahui.
Melalui kajian molekuler terhadap variasi genetik ini akan memberikan informasi yang berarti pada kantung-kantung pusat induk yang banyak tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Namun, kondisinya terkadang sudah overfishing, pada hal wilayah tersebut merupakan penyedia induk dengan tingkat keragaman genetik yang sangat tinggi. Jika informasi dini bisa diberikan, maka upaya-upaya perlindungan, atau pembatasan penangkapan melalui upaya seleksi yang ketat akan dapat diterapkan.
Bahkan melalui kajian molekuler, daerah migrasi ikan dapat dideteksi dengan tepat berdasarkan hubungan kesamaan dari sidik jari DNA yang dimiliki. Dengan demikian upaya perlindungan atau pengamanan wilayah jalur migrasi dari ikan-ikan dan biota perairan penting dapat dilindungi sehingga tidak terjadi penangkapan dalam kondisi ikan matang gonad pada wilayah yang dituju oleh biota tersebut sebagai wilayah berpijah, atau dalam upaya pengembangan sea-ranching. Melaui kajian hingga ke tingkat molekuler, maka taksonomi ikan dan organisme asal laut dan perairan Indonesia dapat diketahui di mana selama ini kajian ini lebih banyak menggunakan referensi yang lebih mengarah pada wilayah perairan subtropis.
Kajian molekuler dari maping gen ini bahkan dapat memberikan kepastian yang berarti kepada organisme yang akan diproses dalam produk olahan. Kepastian demikian ini akan dapat mereduksi tingkat kesalahan dari perlakuan yang diberikan kepada obyek olahan sehingga menghasilkan mutu yang seragam. Ikan dan hasil-hasil perikanan yang ditangkap/dipanen sering memberikan penampilan fisik yang sama walaupun terkadang mereka dari jenis yang berbeda. Kondisi demikian akan berdampak pada produk akhir yang berbeda, sehingga kajian molekuler menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Selanjutnya untuk pekerjaan yang melibatkan penggunaan mikroorganisme, keterlibatan bioteknologi molekuler sangat berperan penting. Pemeliharaan kemurnian galur unggul untuk proses fermentasi merupakan hal yang sangat berperan bagi hasil akhir suatu produk.
Sebagai perguruan tinggi yang ada di Malang dan sebagai masyarakat Malang pada umumnya tentunya kita akrab dengan Sungai Brantas. Kita semua memanfaatkan sebagai sumber kehidupan. Namun tidak disadari bahwa dari air yang mengalir tersebut jutaan mikroorganisme potensial, salah satunya yaitu Chlorellasp., tumbuh dengan baik menghuni ekosistem Sungai Brantas. Tapi apalah daya, biota yang bernilai tinggi tersebut akhirnya tidak disadari kehadirannya. Sementara itu, Jepang dengan ipteknya hadir memanfaatkan biota ini, dibudidayakan, diolah, dikemas, dipromosikan dan dijual dalam bentuk tablet “sun chlorella” yang sangat terkenal itu. Mikroorganisme ini telah lama diteliti oleh peneliti Jepang yang memberi kesimpulan bahwa Chlorellasp., asal Indonesia memiliki kualitas yang sangat baik sebagai sumber food supplement dan sumber bahan baku industri farmasi lainnya.Untuk memanfaatkan hasil riset dan sekaligus menjawab permintaan pasar yang terus meningkat, Jepang telah memanfaatkan lokasi di Kabupaten Pasuruan sebagai lokasi kultur Chlorella. Kondisi ini menunjukkan betapa kita sangat jauh tertinggal dalam bidang bioteknologi, padahal seandainya kita memiliki kemampuan dalam mengelolanya bukan tidak mungkin produk tersebut sebagian besar akan memberikan kontribusi terhadap pendapatan wilayah tersebut. Ribuan bahkan mungkin jutaan jenis mikroalgae yang hidup di air tawar dan laut, sampai sekarang menjadi perhatian beberapa negara untuk dimanfaatkan.
Pemanfaatan sumberdaya hayati perairan ini melalui riset bioteknologi molekuler bukan hanya memberikan konstribusi pada pemenuhan kebutuhan bahan pangan karena kandungan nutrisinya yang lengkap seperti kandungan asam amino, vitamin, mikronutrien lainnya, asam-asam lemak, DHA dan EPA yang sangat berguna, tetapi lebih jauh dapat mencakup area kegunaan yang sangat luas. Kemampuan sumberdaya ini untuk diperbaharui merupakan modal dasar yang sangat berarti asal terjaga kontinuitas keberadaannya. Di samping itu mikrolagae ternyata dapat berperan seperti layaknya mesin-mesin mikroskopis yang mampu menyerap karbondioksida (CO2), di mana hampir 90% dari jumlah karbon organik di laut yang diperkirakan sekitar 4,2 x 1011 ton ada dalam bentuk terlarut yang dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk proses pertumbuhan dalam suatu “microbial loop” (Jannasch, H.W and Wirsen, C.O., 1995)
Kemampuan mikroalgae dalam menyerap karbon organik ini menjadi landasan bagi ahli Jepang untuk mempelajari kemanfaatan mikroalgae bagi kegiatan lainnya. Melalui Japan Times, kantor berita Kyodo, Jepang, menginformasikan hasil temuan riset di sekitar Juni tahun 1997, yang menyatakan bahwa kelompok peneliti Jepang dan dari pusat penelitian perusahaan Idemitsu Kosan yang bekerjasama dengan perusahaan penyulingan minyak Okinawa telah berhasil sukses dalam mengekstrak minyak dari jenis mikroalgae air tawar yang dikenal sebagai Botryococcus bravnii. Rekayasa genetik telah mampu meningkatkan kemampuan produktivitas mikroalgae ini dari awal penanaman sejumlah 2 gram dihasilkan 10 gram dalam tempo waktu 10 hari di mana 50% dari berat tersebut (5 gram) merupakan berat minyak yang dapat dihasilkan. Riset juga melaporkan bahwa kualitas minyak yang dihasilkan memiliki kapasitas panas yang ekuivalen dengan grade C dari heavy fuel oil yang biasa digunakan oleh kapal motor (boat). Hasil temuan ini memberikan optimisme bahwa jika mikroalgae ini dibudi-dayakan pada area seluas 60% Pulau Hokaido, maka akan mampu menyerap seluruh karbondioksida (CO2) yang ada sebagai bahan polutan di seluruh Jepang yang diserap oleh mikroalgae ini sebagai sumber karbon dalam proses fotosintesisnya dan sekaligus memberikan harapan bagi kemungkinan produksi minyak, yang berarti akan mereduksi ketergantungan Jepang terhadap minyak sebagai sumber energi strategis bagi sebagian besar kegiatan industri dan kehidupan di Jepang.
Sebagai negara yang kaya akan sumberdaya hayati, maka temuan ini sekaligus memberikan harapan, bahwa di Indonesia juga memiliki peluang untuk dikembangkan, namun kemampuan sumberdaya manusia dalam menguasai ilmu dan teknologi menjadi hal yang mutlak harus dipenuhi sehingga kita tidak terus harus terjebak pada ketidak-berdayaan sebagaimana gambaran kami terhadap pemanfaatan Chlorella sebagai sumber bahan pangan, pakan dan obat-obatan yang potensial yang ternyata belum mampu kita manfaatkan.
Di samping potensi mikroalgae, makroalgae juga berperan penting dalam banyak industri. Keberhasilan dalam rekayasa genetika dapat menghasilkan rumput laut dengan kecepatan tumbuh yang tinggi. Kekayaan biodiversitas rumput laut ini belum banyak mendapat sentuhan teknologi. Budidaya rumput laut dengan potensi wilayah pesisir yang ada belum dimanfaatkan secara optimal. Jika pun telah dilakukan budidaya, penyediaan benih yang bermutu belum menjadi perhatian, dan terkadang pengolahan pascapanen menjadi permasalahan sehingga menyebabkan rumput laut tidak terserap dalam proses pengolahan. Kemampuan di tingkat petani sampai saat ini baru pada tingkat pengeringan dan pembuatan chips rumput laut. Keterbatasan jumlah industri pengolah rumput laut, menjadi kendala ketika panen raya terjadi.
Karagenan dan agar merupakan salah satu hasil dari ekstraksi polisakarida yang ada dalam rumput laut. Karagenan menjadi bahan penting yang banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan industri pangan, pakan dan obat-obatan serta kegiatan-kegiatan ekperimental laboratorium. Kegunaan praktis karagenan dapat dimanfaatkan dalam produk selai, sirup, saus, makanan bayi, produk susu, produk-produk olahan daging dan ikan, bumbu-bumbu dan sebagainya. Senyawa ini juga banyak digunakan sebagai bahan pengental dalam industri farmasi seperti odol, produk-produk kosmetika, sampo dan produk-produk kecantikan lainnya serta diaplikasikan sebagai pengental pada industri cat dan tekstil.
Di samping itu, rumput laut dan sisa olahan udang dan rajungan/kepiting merupakan sumber penghasil alginate, laminaran, chitin dan chitosan. Penggunaan bahan biopolimer ini dipergunakan secara luas dalam proses industri. Bahan bahan buangan ikan seperti bagian dalam/pencernaan dan usus-usus ikan melalui pendekatan bioteknologi telah mampu dikonversi menjadi produk pakan yang berguna, digunakan sebagai “attractant”, penghasil pepton, pembangkit aroma dan enzim (pepsin, alkaline phosphatase dan lysozyme) (Strom and Raa, 1993).
Perhatian negara-negara di dunia terhadap bioteknologi kelautan dan perikanan ini sangat besar. Perhatian tersebut terlihat dari besarnya anggaran yang telah dikeluarkan untuk melakukan riset guna pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Di sisi lain tidak terlepas dari kenyataan bahwa laut adalah bagian dunia yang menutup hampir 70% planet bumi ini, ternyata belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai contoh USA telah menghabiskan dana riset dalam bidang bioteknologi kelautan dan perikanan mulai tahun 1984 diperkirakan sebesar $181 juta dan telah menghasilkan sekitar 170 paten. Sementara itu Jepang telah menghabiskan dana tidak kurang dari $200 juta melalui Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional yang mendorong berdirinya dua pusat riset Bioteknologi Kelautan (Attaway and Grimes, 1995).
Jepang menempatkan perhatiannya pada riset bioteknologi kelautan dan perikanan bukan hanya dalam rangka mendata potensi sumberdaya di wilayah laut Jepang saja tetapi telah meluas ke daerah lain yang telah dilengkapi dengan kapal riset Sohgen-maru dengan tonase 3.200 ton. Di samping itu, perhatian juga ditujukan kepada riset laut dalam terhadap keberadaan organisme dan sumberdaya laut dalam yang mungkin dapat dimanfaatkan yang telah dilakukan dengan fasilitas laboratorium selam Shinkai 6000 dan peralatan Kaiko untuk mempelajari segala mekanisme laut dalam pada kedalaman 1.000 m (Matzsuzaki, 1995). Semua usaha ini menandakan adanya perhatian bahwa Bioteknologi Kelautan merupakan “the greatest remaining technological and industrial frontier” dalam menjawab abad ini.
Pengharapan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut memang sangat besar, sebagaimana yang dinyatakan oleh Federal Coordinating Council for Science, Engineering and Technology, Washington D.C. (1992) dalam Biotechnology for 21st century, sebagai berikut “A national vision for development of marine biotechnology will lead to application useful to many industries, and ultimately, the American consumer and world markets”. Pernyataan ini sejalan dengan apa yang telah dihasilkan oleh USA, bahwa dengan kekuatan bioteknologi kelautan USA mampu meraup devisa sebesar $40 miliar/tahun. Pada hal jika kita bandingkan USA memiliki wilayah laut dan pantai lebih kecil dibandingkan Indonesia yang memiliki garis pantai 81.000 km (terpanjang di dunia setelah Canada) dan 5,8 juta km2 wilayah laut termasuk ZEEI (Dahuri, 2000).
Pengharapan itu tidaklah berlebihan karena dari laut atau sumberdaya perairan khususnya dalam hal lingkup hayati, laut menyimpan potensi perikanan dan organisme perairan lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan, pakan, obat-obatan dan material baru. Dalam bidang pangan dan pakan, dengan semakin terbatasnya wilayah penangkapan dan semakin menurunnya stok ikan, serta menguatnya isu lingkungan, maka upaya-upaya bioteknologi di bidang aquaculture yang mengarah pada mariculture terus menjadi tumpuan harapan. Ikan, udang, kekerangan dan produk perikanan lainnya merupakan penyedia bahan pangan dunia yang penting dan cenderung terus mengalami peningkatan bahkan kebutuhan konsumsi pangan dari laut (seafood) diperkirakan akan mengalami peningkatan yang tajam (sekitar 70%) pada kurun 35 tahun ke depan, karena seafood dipercaya lebih aman dan menyehatkan untuk dikonsumsi. Pendekatan bioteknologi molekuler akan berperan dalam memenuhi kebutuhan ini melalui kegiatan perbaikan kesehatan budidaya, reproduksi, pengembangan, pertumbuhan dan segala hal yang berhubungan dengan mariculture yang ramah lingkungan.
Laut juga menjadi sumber bahan obat-obatan yang potensial. Akhir-akhir ini ada kecenderungan perhatian yang semakin meningkat terhadap sumberdaya laut melalui upaya-upaya karakterisasi produk-produk alami baru dari laut karena keunikan dan struktur kimia yang sebelumnya tidak diperkirakan ada yang ternyata memiliki aktivitas biologi yang dapat dihandalkan (Prokash, 2000). Beberapa bahan bioaktif asal biota laut kini terus dieksplorasi, dan beberapa memberikan harapan yang besar untuk diaplikasi karena kemampuannya dalam berperan memberantas penyakit. Bioaktif dari ubur-ubur laut ternyata memiliki daya hambat terhadap beberapa jenis bakteri patogen (Yahya, dkk, 2000). Minyak yang diekstrak dari ikan dan biota laut telah lama dikenal mengandung asam lemak n-3 yang bayak dimanfaatkan dalam kegiatan medis.
Sifat spesifik dari wilayah perairan dengan tekanannya serta sifat kimia dari kehadiran komponen garam pada air laut dan kestabilan temperatur, khususnya pada wilayah laut dalam, turut memberikan kontribusi terhadap organisme yang hidup di dalamnya dalam menghasilkan enzim-enzim spesifik yang sangat berperan dalam industri. Kondisi demikian menumbuhkan organisme yang secara metabolis dan fisiologis berbeda dengan organisme yang hidup di darat.
Enzim yang dihasilkan dari bakteri laut merupakan bahan penting dalam bioteknologi karena sifatnya yang sangat spesifik dan jarang ditemukan pada daerah darat. Beberapa merupakan organisme yang resisten terhadap garam yang merupakan hal yang sangat spesifik diperlukan dalam proses industri. Sebagai contoh enzim protease ekstraseluler yang merupakan bahan penting dan dapat digunakan dalam industri deterjen dan industri bahan pembersih seperti pada pencucian membran reverse-osmosis. Jenis bakteri Vibrio spp., yang dikenal sebagai salah satu penyebab penyakit pada ikan dan udang ternyata menghasilkan berbagai macam enzim protease ekstraseluler. Vibrio alginolyticus, menghasilkan 6 jenis protease, termasuk di dalamnya enzim yang tidak umum yaitu enzim yang tahan terhadap deterjen dan enzim alkaline serine exoprotease. Bakteri ini juga menghasilkan collagenase, yaitu suatu jenis enzim yang dapat diaplikasikan dalam berbagai industri dan penerapan komersial, termasuk di dalamnya kemampuan dalam mendispersi sel-sel dalam kultur jaringan. Alteromonasspp, yang diisolasi dari laut juga dilaporkan beberapa jenis di antaranya mampu menghasilkan enzim protease yang memiliki kemampuan dalam proses penghambatan pertumbuhan beberapa jenis bakteri lainnya. Bahan inhibitor yang diidentifikasi ternyata mengandung dua bahan penting yaitu marinostatin yang dibangun dari 12 sampai 14 asam-asam amino, sedangkan bahan lainnya dikenal sebagai monostatin yang dibangun dari glycoprotein (Imada, 2000). Enzim alkaline serine protease yang termasuk dalam famili subtilisin juga ditemukan di beberapa jenis bakteri laut, antara lain pada bakteri laut psychrophilic yang hidup di laut dengan suhu rendah/dingin (Alfredsson, et al., 1995).
Riset yang sedang kami kerjakan terhadap marine yeast yang bekerja secara mutualisme dari berbagai jenis yang ada yang kami isolasi dari air laut di beberapa pantai di Jawa Timur, kini juga telah menghasilkan beberapa harapan untuk menggantikan peran sumber protein bahan pakan dari kedelai dan tepung ikan yang terus meningkat kompetisinya dengan kebutuhan sebagai sumber protein manusia. Melalui rekayasa kultur, dengan menggunakan wadah galon-galon bekas aqua sebanyak 10 galon dan media air laut yang diperkaya nutrisinya, mampu dihasilkan 0,5 kg berat basah sel dalam waktu 5 sampai 7 hari. Kualitas protein hasil analisa menunjukkan bahwa mutu asam amino kultur marine yeast tidak kalah dari mutu asam amino tepung ikan dan kedelai, begitu juga asam-asam lemak yang dikandungnya.
Di samping bakteri, beberapa jenis mikroalgae juga mampu menghasilkan enzim penting, seperti enzim haloperoksidase yang mampu berperan dalam penggabungan halogen kedalam bahan-bahan metabolit. Enzim ini dapat berperan penting dalam industri kesehatan, kecantikan dan pangan.
Kondisi sifat fisik laut yang sangat beragam dan ekstrim telah menghasilkan beberapa enzim yang sangat berperan dalam bidang bio-molekuler dan bioteknologi molekuler. Enzim yang tahan panas tinggi lebih dari 100°C dapat diisolasi dari kelompok bakteri Archae (Thermus aquaticus) yang diisolasi dari sumber air panas dari Yellowstone National Park, memberikan konstribusi yang sangat berarti dalam pengembangan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang merupakan teknik yang sangat penting untuk mempelajari material genetik dan rekayasa genetika.
Kepercayaan bahwa sumberdaya laut dapat menjadi andalan pertumbuhan ekonomi suatu negara terrefleksi pada optimisme Norwegia dalam membangun bidang perikanan. Negeri ini telah menjadi leading dalam industri perikanan dan kelautan di Eropa dengan lebih mengedepankan peran bioteknologi di dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautannya (Strom and Raa, 1993)
Apa yang kami uraikan adalah gambaran dari kenyataan yang telah dikerjakan dan dinikmati oleh beberapa negara yang optimis memandang bahwa perikanan dan kelautan menyimpan sumberdaya yang layak untuk digarap. Kondisi geografis Indonesia yang sangat menguntungkan dengan kekayaan biodiversitas sumberdaya laut dan perikanan terbesar di dunia memberi harapan besar untuk dimanfaatkan. Namun semuanya tidak terlepas dari kemampuan sumberdaya manusia itu sendiri untuk mengelolanya.
Semangat otonomi daerah haruslah dijabarkan dengan kemampuan daerah untuk memadukan kekuatan sumberdaya manusia yang didukung oleh kemampuan sain dan teknologi yang handal dalam mengelola sumberdaya alam (laut dan perikanan). Hanya daerah yang memiliki visi pembangunan dengan sumberdaya manusia yang didukung oleh kemampuan sain dan teknologi yang handal akan menjadi leading dalam persaingan baik secara nasional mupun global. Produk-produk bioteknologi kelautan dan perikanan memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai produk yang bernilai dengan daya saing yang tinggi.
Dalam kondisi krisis saat ini adalah hal yang obyektif jika kita menengok bersama bahwa laut adalah jawabannya untuk memulai menjadi sumber kekuatan ekonomi bangsa Indonesia, dan bioteknologi merupakan sumber kekuatan untuk mengolah dan memanfaatkan dengan tetap mengedepankan kaidah pengelolaan yang berhati-hati, bertanggung jawab dan berwawasan lingkungan.
http://ikanmania.wordpress.com/2008/01/20/peran-bioteknologi-molekuler-dalam-pembangunan-bidang-perikanan-dan-kelautan-indonesia/